Rabu, 17 Agustus 2011

Astronomi Islam

Dr. Fahmi Amhar
Peneliti Utama Bakosurtanal

(tulisan ini dimuat di tabloid Suara Islam edisi no. 28, minggu I-II September 2007)

Setiap awal atau akhir Ramadhan selalu terjadi perdebatan tentang teknik penentuannya.  Di Indonesia yang hangat adalah perdebatan kalangan ”ahli hisab” yang diwakili oleh Muhammadiyah dan Persis, dan”ahli ru’yat” yang diwakili NU.  Ahli hisab meyakini bahwa masuknya bulan dalam kalender hijri tidak perlu lagi diamati, cukup dihitung saja, karena perhitungan astronomi dinilai sudah sangat akurat.  Sebaliknya ahli ru’yat menilai bahwa meski hisab sudah amat akurat, namun kesaksian empiris adalah disyariatkan.  Jadi kalangan NU juga tidak sependapat bila mereka dituduh tidak menguasai hisab.  Mereka menggunakan hisab untuk menseleksi laporan ru’yat yang bisa diterima dari yang tidak – mirip yang dilakukan para ulama hadits untuk menilai kesahihan sebuah hadits.  Jadi, kalangan NU yakin pahala mereka dua kali, karena memakai hisab dan ru’yat sekaligus.  Meski demikian ada juga ahli ru’yat yang sama sekali mengesampingkan hisab, dengan alasan, bisa saja Allah memperjalankan bulan dan matahari di luar yang telah dihitung oleh manusia, sebagaimana kelak menjelang hari kiamat, Allah akan membuat matahari terbit dari Barat.  Pendapat terakhir ini, meski menggunakan dalil yang benar, namun diaplikasikan secara kontraproduktif, karena ada pernyataan Allah di QS Yunus ayat 5:
Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu)....
Tidak mungkin Allah menciptakan sesuatu yang tidak teratur menjadi alat penghitung waktu.
Di sisi lain, kalangan ahli hisab sendiri tidak sepakat tentang kriteria hisab yang digunakannya, meski mereka sama-sama menggunakan metode hisab dari astronomi modern.  Contoh: Muhammadiyah menggunakan kriteria wujudul hilal yaitu bulan 0 derajat atau lebih di atas ufuk pada saat matahari terbenam.  Sedang Persis menggunakan kriteria 2 derajat.  Untuk 1 Syawal 1428H mendatang, persoalan kriteria ini menjadi kritis.  Pada hari Kamis 11 Oktober 2007, posisi hilal di Jakarta adalah 0.15 derajat (jadi sudah masuk kriteria Muhammadiyah, tapi belum masuk kriteria Persis).  Walhasil, Muhammadiyah akan berhari-raya pada Jum’at 12 Oktober 2007.  Sedang Persis dan para ahli ru’yat akan berhari-raya pada Sabtu 13 Oktober 2007, mengingat hilal setinggi itu masih mustahil dapat diru’yat.  Bulan terbenam hanya 2 menit setelah matahari terbenam, sementara kecerahan matahari yang hampir sejuta kali kecerahan hilal tentu menghalangi terlihatnya hilal.